Categories
Kultum Ramadhan

Dakwah Pasca Millenial

Untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, ibadah selama bulan Suci Ramadhan dilakukan di rumah, sampai dinyatakan bahwa wabah sudah berlalu oleh pihak berwenang. Nabi SAW-pun hanya beberapa hari saja jama’ah tarawih di masjid, selebihnya di rumah. https://update.unisayogya.ac.id/covid19/dakwah-pasca-millenial/ dapat dibacakan oleh imam atau yang ditunjuk ketika jama’ah tarawih atau subuh di rumah. Daftar kultum: https://bit.ly/KultumRomadhon


*Dakwah Pasca Millenial*
Oleh: Askuri – Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam UNISA

Pasca-perang Diponegoro, penguasa kolonial dihantui perasaan takut yang luar biasa tentang Islam. Bagaimana mungkin perlawanan seorang pangeran yang terbuang bisa menyulut perang di seluruh Jawa, didukung oleh kantung-kantung Muslim di pesantren-pesantren? Di Eropa pada masa itu, pengetahuan tentang Islam masih sangat terbatas.

Tahun 1883, Krakatau meletus. Abunya yang menjangkau daratan Eropa menebarkan ketakutan lebih lanjut: di tengah mistisisme orang Islam di tanah Jawa, akankah meletusnya krakatau ini dianggap sebagai sinyal langit akan meletusnya perlawanan ummat Islam di Hindia-Belanda? Mengingat meletusnya perang Diponegoro juga disulut oleh meletusnya Merapi yang dianggap sebagai sinyal langit.

*Kisah Snouck Hurgronje*

Tersebutlah seorang doktor ahli bahasa dan sastra timur dari Leiden: Christiaan Snouck Hurgronje, dan memiliki minat yang besar tentang Islam. Ia kemudian dikirim ke Makkah, sebuah wilayah yang mengharamkan orang kafir. Oleh karenanya, ia pun harus rela menjadi muallaf, bersunat, dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar al-Laydini – Hamba Sang Pengampun dari Leiden. Ia tinggal di Makkah selama 2 tahun, berguru pada Sayyid ibn Ahmad Zaini Dahlan, seorang cicit Nabi dan merupakan salah satu mata rantai sanad terpenting bagi ulama di Indonesia.

Sepulang dari Makkah, ia segera dikirim ke Banten untuk mengkaji Islam yang tengah bergolak di tanah Pasundan. Ada puluhan pejabat kolonial yang dibunuh para pengikut tarekat naqsabandiyah. Mereka percaya pada sinyal langit pasca meletusnya krakatau 1883 bahwa sang ratu adil akan datang menegakkan Islam yang sebenarnya di tanah Pasundan. Perlawanan di Banten ini berhasil diredam dengan pendekatan antropologis yang memisahkan penduduk dengan pengikut tarekat itu. Ia merekomendasikan agar pemerintah kolonial lebih ramah terhadap Islam ritual.

Sukses di Banten ini menuntun syahwat kekuasaan kolonial yang lebih besar: menaklukkan Aceh yang selama puluhan tahun terakhir gagal ditaklukkan. Akhirnya Hurgronje dikirim terlebih dahulu ke pedalaman Aceh selama 7 bulan untuk mempelajari rahasia Islam di Aceh. Hurgronje akhirnya merekomendasikan bahwa orang Islam di Aceh harus dipisahkan dari politik. Hubungan antara Teuku dan Tengku harus dipisahkan. Kebersatuan Islam dengan kekuatan politik merupakan kombinasi kekuatan yang dahsyat di negeri ini. Rekomendasi Hurgronje ini berhasil dijalankan, sehingga Aceh berhasil ditaklukkan. Teuku Umar berhasil ditembak mati. Tengku Cik Di Tiro juga mati diracun. Padamlah semangat perlawanan rakyat Aceh.

Hikmah dari kisah sukses Snouck Hurgronje ini ialah betapa strategisnya pendekatan ilmu pengetahuan dalam berbagai rekayasa sosial. Hal ini penting digunakan dalam pendekatan dakwah. Strategi dakwah sama halnya dengan strategi berperang. Pemahaman terhadap medan dakwah, sasaran dakwah, struktur sosial, relasi sosial, logistik, dan lain-lain sangat penting.

*Zaman Teknologi Informasi*

Semenjak akhir abad ke-20, perkembangan sains telah memasuki babak baru: teknologi informasi. Teknologi ini mempolarisasi generasi menjadi digital natives dan digital immigrants. Teknologi ini juga memunculkan babak baru yang dikenal dengan era disrupsi, dengan generasi baru yang berbeda dari generasi sebelumnya: generasi millenial.

Era disrupsi mengacaukan kemapanan sosial selama ini, termasuk kemapanan dakwah. Kalau dulu dakwah hanya dimonopoli segelintir ulama dari kalangan pesantren. Sekarang, dakwah menjadi kepentingan sejumlah pihak yang kian meningkat jumlahnya. Fenomena ini disebut objektifikasi pengetahuan Islam. Sekarang banyak bermunculan ustadz entertainment yang bukan berlatar belakang pesantren. Hanya berbekal satu dua ayat, mereka sudah berani muncul di TV. Hanya berbekal cuplikan ayat, mereka sudah berani mencuit di media sosial.

Medan dakwah tak lagi berdimensi tunggal. Jika dulu ummat Islam di Indonesia secara sederhana terpolarisasi menjadi Muhammadiyah dan NU. Makanya orang Madura jika ditanya agama apa saja yang ada di Madura? Mereka akan menjawab “alhamdulillah, semua Islam, minimal muhammadiyah”. Akan tetapi, sekarang, polarisasi ummat Islam lebih rumit: ada salafi, syiah, ahmadiyah, ISIS, liberal, jihadi, transnasional, dan lain-lain. Itulah medan dakwah saat ini: semakin complicated. Sayangnya, lembaga dakwah kita masih mengedepankan tabligh konvensional. Ibarat berangkat perang, lembaga dakwah kita masih menggunakan bambu runcing. Memang tampak lebih heroik, tapi tak akan bisa menyasar apapun.

Ada sebuah film dokumenter berjudul “Jihad Selfie“. Film ini bercerita tentang Teuku Akbar Maulana (17 tahun), seorang remaja brilian yang hafal Al-Qur’an dan mahir berbahasa Arab, mendapat beasiswa dari pemerintah Turki untuk belajar agama di Imam Katip High School – setara dengan Madrasah Aliyah di Indonesia – di Kayseri. Namun, dari kota di Anatolia Tengah itu, sebuah godaan berat muncul dan hampir mengubah jalan hidupnya dari seorang calon imam dan khatib. Ia nyaris meninggalkan keluarganya di Aceh dan bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Suriah, mengikuti jejak temannya.

Di laman Facebook, Akbar melihat foto Yazid, seorang teman satu asrama dari Indonesia, yang lebih dulu bergabung menjadi pejuang ISIS, tampak gagah memegang senapan AK 47. Ternyata Yazid juga telah merekrut Bagus, teman lain asal Indonesia yang juga sedang belajar di Turki. Yazid sendiri merupakan sosok asosial yang banyak menghabiskan waktu empat jam sehari di depan komputer untuk mengakses internet atau bermain game. Ia menghilang, lalu fotonya muncul di Facebook dengan latar bendera ISIS.

Anak muda seperti Yazid dan Akbar ini semakin banyak jumlahnya. Pada 2020-2030 mendatang Indonesia akan mengalami bonus demografi, dimana jumlah anak muda lebih banyak daripada kaum tua. Jumlah anak muda ini akan menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Bahkan, berdasarkan prediksi statistik, ummat Islam akan menjadi mayoritas di muka bumi ini 50 tahun yang akan datang.

Jumlah yang sedemikian besar itu sangat sangat sayang kalau tidak menjadi perhatian serius lembaga dakwah. Metode dakwah konvensional tak akan lagi memadai sebagai pendekatan dakwah bagi anak-anak millenial. Bahkan generasi ini akan segera berganti dengan generasi baru yang sepenuhnya merupakan digital natives, yaitu generasi Z.

Ada humor nyinyir di kalangan millenial sebagai kritik dakwah konvensional: cerita tentang ustadz dan sopir bus. Di hadapan pengadilan Allah, ustadz ternyata diputus masuk neraka hanya karena menyebabkan jamaahnya ngantuk dan lupa berdzikir. Sementara sopir bis yang ugal-ugalan diputus masuk surga karena penumpangnya yang ketakutan sehingga selalu berdzikir kepada Allah.

Al-Quran menarasikan pendekatan universal dalam dakwah:

وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 104)

Inti dari ayat tersebut ialah komunikasi efektif dalam berdakwah. Pendekatan itu meniscayakan pemahaman yang empatik terhadap karakteristik objek dakwah. Istilah “bilisani qawmihi” akan berimplikasi pada “liyubayyina lahum“. Artinya, kita harus mendalami karakteristik generasi saat ini beserta semangat zaman yang menyertainya. Ada beberapa karakteristik anak muda millenial yang perlu kita pahami sebagai objek dakwah:

*Pertama*,
anak muda sekarang sangat accessible terhadap internet. Mereka rata-rata menghabiskan waktu 4-5 jam sehari untuk mengeksplorasi banyak informasi yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya: game, video, dan berbagai narasi yang customized. Oleh karena itu, dakwah millenial pun harus merambah internet.

*Kedua*, p
enggunaan social media mengubah mindset literasi. Kalau dulu kita bercita-cita mengubah masyarakat lisan menjadi masyarakat tulis melalui pendidikan literasi, sekarang kita justru kembali menjadi masyarakat lisan melalui penggunaan social media. Oleh karena itu, dakwah millenial pun harus menggunakan media sosial secara profesional.

*Ketiga*,
dengan menggunakan framework Durkheim, solidaritas masyarakat modern sudah berubah dari solidaritas mekanik menjadi solidaritas organik. Kita sudah tidak bisa lagi menampilkan diri secara partisan sebagai bagian dari kelompok yang sempit. Dakwah harus memberi ruang yang lebih luas terhadap perbedaan-perbedaan khilafiyah, tanpa harus meninggalkan manhaj salaf as-shalih.

*Keempat*,
dengan menggunakan framework Rostow, kita sudah menjadi masyarakat konsumsi melimpah dengan banyak pilihan. Ibarat memasuki pasar ramadlan di Kauman untuk mencari makanan berbuka puasa: ada banyak pilihan menu. Oleh karenanya, dakwah pun harus memberikan tawaran-tawaran yang meyakinkan bagi masyarakat modern.

Salah satu prinsip dakwah ialah transformasi, bukan memecah belah. Artinya, dakwah harus memberikan pencerahan, bukan justru menjerumuskan jamaah pada pikiran yang sempit.