Categories
Kultum Ramadhan

Puasa Mengajarkan Semangat Pembatasan Sikap Berskala Besar

Untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, ibadah selama bulan Suci Ramadhan dilakukan di rumah, sampai dinyatakan bahwa wabah sudah berlalu oleh pihak berwenang. Nabi SAW-pun hanya beberapa hari saja jama’ah tarawih di masjid, selebihnya di rumah. https://update.unisayogya.ac.id/covid19/puasa-mengajarkan-semangat-pembatasan-sikap-berskala-besar/ dapat dibacakan oleh imam atau yang ditunjuk ketika jama’ah tarawih atau subuh di rumah. Daftar kultum: https://bit.ly/KultumRomadhon


*Puasa Mengajarkan Semangat Pembatasan Sikap Berskala Besar*
Oleh: M. Nurdin Zuhdi – Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam UNISA

Kata “puasa” dalam Bahasa Arab disebut “Ash-Shiyam” atau “Ash-Shaum” yang secara bahasa berarti “al-Imsak” yang bermakna “menahan diri dari sesuatu”. Dengan demikian, secara istilah puasa bermakna menahan diri dari segala sesuatu dapat membatalkan puasa, yang dilakukan sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Sehingga orang yang sedang sahur kemudian mendengar seruan “imsak”, itu artinya kita disuruh untuk menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa, seperti makan, minum dan hubungan biologis.

*Apa itu Menahan Diri?*

Namun makna menahan diri ini bukan berarti sempit di mana hanya sekedar menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa, namun hakikat menahan diri yang dimaksud bermakna luas yaitu menahan diri dari segala sesuatu yang dapat menggugurkan pahalanya puasa. Jika puasa hanya sekedar menahan diri dalam arti sempit, maka puasa kita terancam hanya akan mendapatkan lapar dan dahaga saja. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda: “Berapa banyak orang yang puasa, bagian (yang dipetik) dari puasanya hanyalah lapar dan haus (semata)”[HR. Ibnu Majah).

*Bagaimana Puasa yang Berdampak Besar?*

Lalu puasa seperti apa yang berdampak secara sosial berskala besar? Jawabannya adalah puasa yang tidak hanya menahan dari lapar dan dahaga semata, namun menahan telinga, pendengaran, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa. Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menjelaskan: Seorang yang berpuasa adalah orang yang anggota badanya berpuasa dari perbuatan-perbuatan dosa, lisannya berpuasa dari kata dusta, kata keji, dan ucapan palsu, perutnya berpuasa dari makanan dan minuman, kemaluannya berpuasa dari bersetubuh. Bila dia berbicara, tidak berbicara dengan sesuatu yang merusak puasanya, bila berbuat, tidak berbuat dengan suatu perbuatan yang merusak puasanya, sehingga seluruh ucapannya keluar dalam keadaan baik dan manfaat”.

Banyak hadis yang menguatkan tentang puasa yang berdampak secara sosial berskala besar ini. Diantaranya adalah “Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya”. [HR. Al-Bukhari]. Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya puasa itu bukan menahan dari makan dan minum saja, puasa yang sebenarnya adalah menahan dari laghwu (ucapan sia-sia) dan rafats (ucapan kotor), maka bila seseorang mencacimu atau berbuat tindakan kebodohan kepadamu katakanlah: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’.” [HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim].

*Menegakkan Hakekat Puasa*

Jika hakikat puasa ini benar-benar ditegakkan, maka kita akan melihat perubahan sosial bersekala besar. Mengapa demikian? Karena dengan menahan telinga, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa, maka tingkat kejahatan dan kerusakan di muka bumi ini akan hilang, atau minimal berkurang. Sebab itu, sikap menahan diri ini sangat penting. Coba kita perhatikan, betapa banyak kerusakan yang terjadi di muka bumi ini akibat manusia tidak bisa menahan diri. Terjadinya banjir, akibat manusia tidak bisa menahan diri untuk tidak menggunduli hutan dan membuang sampah sembarangan. Terjadinya kecelakaan di lampu merah akibat pengguna jalan tidak bisa menahan diri untuk berhenti sejenak menunggu lampu hijau. Terjadinya korupsi, pembunuhan, miras, narkoba dan obat-obatan terlarang, fitnah, menebar hoax, perzinahan, perselingkuhan, KDRT dan lain-lainnya adalah akibat manusia tidak bisa menahan diri.

*Spirit Melawan Pandemi*

Spirit puasa Ramadhan inilah yang harus kita bawa dalam melawan Covid-19 atau yang dikenal dengan virus Corona yang sedang mewabah negeri ini. Jika spirit Ramadhan ini kita tegakkan, maka social distancing dan physical distancing dalam menghalau penyebaran Corona tidaklah berat untuk kita jalankan. Karena nilai-nilai social distancing dan phsycal distancing adalah bagian kecil saja dari hakikat puasa Ramadhan itu sendiri. Misalnya, kita diperintahkan untuk menahan mulut kita dari mengguncing adalah termasuk social distancing.

Contoh lainnya, kita dilarang berhubungan biologis disiang hari pada saat puasa adalah termasuk psychal distancing. Karena hakikat puasa Ramadhan bukan banya menahan diri dari sesuatu yang dapat membatalkan puasa seperti makan, minum dan berhubungan biologis semata, hakikat puasa yang sesungguhnya adalah menjaga hati, pikiran, sikap dan gerak anggota badan kita dari perbuatan yang sia-sia dan tidak berguna yang dapat membatalkan pahala puasa.

Sikap menahan diri yang diajarkan dalam puasa Ramadhan ini bisa kita bawa dalam menghalau penyebaran virus Corona yang sedang melanda negeri kita. Menahan diri untuk tidak ke luar rumah kecuali memang sangat mendesak. Menahan diri untuk tidak beribadah ke masjid sesuai himbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menahan diri untuk tidak bersilaturahim. Ramadhan mengajarkan kepada kita untuk bisa belajar menahan diri dari segala hal yang dapat merugikan diri dan orang lain.