Categories
Kultum Ramadhan

Tinjauan Psikologi Puasa

Untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, ibadah selama bulan Suci Ramadhan dilakukan di rumah, sampai dinyatakan bahwa wabah sudah berlalu oleh pihak berwenang. Nabi SAW-pun hanya beberapa hari saja jama’ah tarawih di masjid, selebihnya di rumah. https://update.unisayogya.ac.id/covid19/tinjauan-psikologi-puasa/ dapat dibacakan oleh imam atau yang ditunjuk ketika jama’ah tarawih atau subuh di rumah. Daftar kultum: https://bit.ly/KultumRomadhon


*Tinjauan Psikologi Puasa*
Oleh : Ratna Yunita Setiyani – Prodi S1 Psikologi

Bulan Ramadan sangat dinantikan oleh umat Islam sedunia, karena banyak keutamaan yang ditawarkan oleh Allah diberikan pada bulan ini. Ramadan menawarkan sejuta pesona untuk hamba Allah mensucikan diri menuju kepada keadaan fitri/suci kembali. Berpuasa sejatinya bukan hanya menahan lapar dari makan dan minum, namun juga menahan diri dari perbuatan yang munkar. Perjuangan berat bukan terletak pada bagaimana kita mampu menahan dari rasa haus dan lapar, tapi bagaimana kita berjuang menahan diri/mengendalikan diri dari hawa nafsu kita. Dalam istilah psikologi pengendalian diri ini disebut sebagai self-control.

Rasullullah SAW bersabda, “Puasa itu bukanlah sekedar menahan diri dari makan dan minum. Akan tetapi sesungguhnya puasa itu adalah mencegah diri dari segala perbuatan yang sia-sia serta menjauhi perbuatan-perbuatan yang kotor dan keji.” (Hadist Riwayat Bukhari).

Manusia diciptakan dengan akal, karena itulah manusia lebih tinggi derajatnya dibandingkan hewan. Kemampuan menahan/mengendalikan diri tidak hanya melibatkan akal, tetapi juga afeksi/rasa, dan perilaku/motoriknya. Pengendalian diri merupakan salah satu komponen utama bagi upaya perwujutan kehidupan jiwa yang sehat.

Puasa merupakan olah raga batin, dimana manusia yang berpuasa dilatih untuk jujur, disiplin dan sabar menghadapi berbagai godaan. Prinsip dalam ajaran puasa tersebut persis sama dengan prinsip penyembuhan pasien gangguan jiwa.

*Apa itu Sehat Jiwa?*

Pada tahun 1984 WHO telah menyempurnakan batasan sehat dengan menambahkan satu elemen spiritual, sehingga sekarang ini yang dimaksud dengan sehat adalah tidak hanya sehat dalam arti fisik, psikologis dan sosial saja tetapi juga sehat dalam arti spiritual keagamaan. Puasa dan Kecerdasan Emosional Sebagaimana telah dikutip di muka, puasa adalah bagian dari perintah agama, sebuah perintah keagamaan yang harus ditaati oleh umat.

Kemampuan mengendalikan diri merupakan indikator kesehatan jiwa seseorang. Orang yang sehat secara kejiwaan akan memiliki self-conrol yang baik, sehingga terhindar dari berbagai gangguan jiwa ringan apalagi yang berat. Lalu apa yang terjadi jika pengendalian diri terganggu? Tentu akan timbul berbagai-reaksi-reaksi patologis secara kognisi (kemampuan berpikirnya), afeksi (perasaannya) perilakunya. Bila hal ini terjadi maka akan terjadi hubungan yang tidak harmonis antara diri individu dengan dirinya sendiri (konflik internal) dan juga dengan orang lain yang ada di sekitarnya.

*Jiwa-Jiwa yang Mengumbar Nafsunya*

Ketidakmampuan mengendalikan diri akan sangat buruk efeknya bagi diri sendiri maupun bagi kehidupan sosial di sekitarnya. Orang yang tidak mampu mengendalikan diri untuk makan dan minum akan mengalami kegemukan, diabetes, komplikasi, dll. Demikan pula dalam perilaku seksual, banyak berbagai perilaku seksual menyimpang yang disebabkan karena ketidakmampuan orang untuk mengendalikan hasrat seksualnya, seperti; pelacuran, perkosaan, pencabulan dll.

Pada tataran sosial yang lain, kita sering menyaksikan orang melakukan tindakan korupsi, suap karena ketidakmampuan seseorang untuk mengendalikan diri guna mencapai kedudukan ataupun jabatan tertentu. Orang melakukan korupsi, suap dan sebagainya tersebut dikarenakan dorongan ambisi pribadi atau keluarga dengan mengabikan aspek-aspek kepatutan umum, norma, hukum dan nilai-nilai sosial. Seolah sudah terputus urat malunya, sehingga pada tataran kognis, afeksi dan perilakunya mencoba menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan pribadi/keluarga tersebut.

*Puasa dan Kesehatan Jiwa*

Bagaimana halnya hubungan puasa dengan kesehatan jiwa? Dalam terapi gangguan jiwa pasien dididik dan dilatih untuk jujur, disiplin dan sabar serta banyak melakukan aktivitas-aktivitas fisik maupun sosial, sehingga pasien akan menemukan pencerahan jiwa atau insight. Doktor Nicolayev, seorang guru besar yang bekerja pada lembaga psikiatri Moskow mencoba menyembuhkan gangguan jiwa dengan berpuasa. Dalam usahanya itu ia melakukan terapi terhadap pasiennya dengan menggunakan 30 hari puasa (persis puasanya orang Islam) dan berhasil.