Untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, ibadah selama bulan Suci Ramadhan dilakukan di rumah, sampai dinyatakan bahwa wabah sudah berlalu oleh pihak berwenang. Nabi SAW-pun hanya beberapa hari saja jama’ah tarawih di masjid, selebihnya di rumah. https://update.unisayogya.ac.id/covid19/empat-macam-tipologi-umat-islam-dalam-menyambut-ramadhan/ dapat dibacakan oleh imam atau yang ditunjuk ketika jama’ah tarawih atau subuh di rumah. Daftar kultum: https://bit.ly/KultumRomadhon
*Empat Macam Tipologi Umat Islam dalam Menyambut Ramadhan*
Oleh: Ruslan Fariadi – Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam UNISA
دَخَلَ رَمَضَانُ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ هَذَا لَبِشَهْرٍ قَدْ حَضَرْتُمْ، وَفِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حَرَمَهَا فَقَدْ حَرُمَ الْخَيْرُ كُلُّهُ، وَلاَ يُحْرَمُ خَيْرُهَا إِلاَّ الْمَحْرُوْمُ {رواه إبن ماجه}
“Ketika masuk bulan Ramadhan Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya bulan ini (Ramadhan) telah menjumpai kalian, yang di dalamnya terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Terhalang dari padanya berarti terhalang kebaikan seluruhnya, dan tidak akan terhalang dari kebaikannya kecuali orang yang dihalangi (karena tidak serius enyambutnya)”. (HR.Ibnu Majah)
Bulan Ramadhan adalah bulan suci yang selalu di nanti kehadirannya oleh setiap umat islam. Bahkan Rasulullah saw menyambutnya seperti tamu istimewa yang dirindukan kehadirannya. Kerinduan beliau terhadap bulan suci Ramadhan direfleksikan baik dengan kata maupun perbuatan. Beliau menyambut kehadirannya dengan ungkapan kerinduan yang sangat besar “Marhaban” Ya Ramadhan, sebuah ungkapan yang sejatinya diperuntukkan bagi sesuatu yang teristimewa dan dinanti kehadirannya. Bukti kecintaan beliau juga diwujudkan dengan berbagai ibadah yang dikenal dengan “Qiyamur Ramadhan”.
Namun ironisnya, tidak semua umat Islam menyambut dan mengisinya dengan gembira. setidaknya ada empat macam tipologi umat Islam dalam menyambut bulan suci Ramadhan sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Mustafa as Siba’i dalam bukunya “Hikmah as Shaum wa Falsafatuh”, yaitu:
Pertama: Orang yang memandang Ramadhan hanya sebagai penghalang yang tidak ada manfaatnya. Ramadhan dipandang sebagai sesuatu yang memberatkan dan tidak memiliki dampak positif apa-apa. Orang semacam ini sengaja tidak berpuasa, bahkan ia melakukannya secara terang-terangan.
Kedua: Orang yang hanya memandang Ramadhan sebagai bulan lapar dan dahaga yang tidak mengenakkan. Tetapi ia tetap berpuasa karena malu dilihat orang lain. Namun ia makan dan minum ketika orang lain tidak melihatnya atau ketika berada di tengah-tengah orang yang sefiqroh dengan dirinya.
Ketiga: Orang yang memandang bulan Ramadhan sebagai musim pesta tahunan yang ditandai dengan hidangan yang melimpah. Ramadhan dianggap sebagai waktu yang baik untuk ngobrol sambil menunggu waktu berbuka tiba. Akibatnya, banyak orang yang bermalas-malasan, dan seringkali menggunakan dalil (nash) sebagai justifikasi terhadap apa yang dikerjakannya, dengan interpretasi yang tidak benar. Seperti menggunakan hadits Nabi saw, “tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah”. Hadits ini dimaknai seolah-olah orang yang berpuasa itu identik dengan tidur dan bermalas-malasan.
Keempat: Orang yang memandang Ramadhan sebagai sarana yang paling efektif untuk melatih jiwa serta memperbaiki moralitas dirinya, akhlak yang baik, rela berkorban, melatih kesabaran dan bentuk-bentuk pendidikan lain yang bernuansa transendental (Ilahiyah). Bagi kelompok ini, Ramadhan merupakan saat yang paling tepat untuk berbenah dan hiburan spiritual bagi kepenatan hidup setelah menempuh perjalanan panjang di dunia materi. Ramadhan laksana terminal untuk istirahat sejenak demi menempa kekuatan jiwa dan kepribadiannya. Dalam istirahatnya yang sejenak itulah ia akan memperbaiki apa-apa yang telah rusak dan usang, serta mengobati segala sesuatu yang sakit. Orang yang beriman sangat mengerti manfaat Ramadhan untuk meraih kesuksesan di masa yang akan datang, yaitu sebuah kemenangan yang hakiki.
Mentalitas puasa mengajarkan kita tentang hakekat kesabaran dan kekuatan. Sebab tidak ada orang yang berhasil kecuali orang yang sabar dan kuat, baik fisik-material maupun mental-spiritual. Cara terbaik untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagiaan hidup adalah dengan memadukan antara kesabaran dan kekuatan (QS.al-Anfal:60)
Kita patut belajar dari kondisi umat Islam di saat perang Badar yang terjadi pada tanggal 17 Ramadhan. Meski saat itu, tentara Islam hanya berjumlah sedikit dengan perbekalan yang sangat terbatas, namun dengan semangat pantang menyerah, ternyata mereka dapat memperoleh kemenangan. Inilah sebuah pertolongan yang sempurna yang diabadikan dalam al-Qur’an. Kemenangan yang mereka peroleh adalah karena puasa. Puasa telah menumbuhkan mentalitas sabar dan kekuatan. Karena pada hakekatnya mereka menggempur dengan penuh kesabaran dan kekuatan Allah, merekapun memanah dengan keperkasaan Allah.
Demikian pula, kemenangan yang diperoleh oleh umat Islam dalam beberapa peperangan yang lain, misalnya di Yarmuk, Qadisiyah, Jalula’, Hathin, dan lain sebagainya. Bahkan para ahli sejarah sendiri merasa kesulitan untuk mengungkap misteri kekuatan luar biasa yang membuat umat Islam menang. Bisa dipastikan bahwa kemenangan ummat Islam pada saat itu karena mereka memiliki “mentalitas puasa”, yaitu: ‘Iffah (Menjaga kehormatan dan harga diri), rela berkorban, mampu menghadapi kesulitan, bersikap tawadhu’ (rendah hati), menghilangkan segala bentuk dominasi selain Allah, dan selalu bersikap keras terhadap segala bentuk kebathilan. (Wallahu A’lam)’ (Sumber: Serba Serbi Ramadhan, karya Ruslan Fariadi)