Oleh: David Sulistiawan Aditya
Wabah virus Corona 2019 atau yang disebut COVID-19 telah berdampak pada berbagai aspek kehidupan termasuk pendidikan. Epidemik ini tidak hanya menginfeksi lebih dari 250 ribu orang dan menyebabkan kematian pada lebih dari 11.890 jiwa (worldometers.info, 2020) tetapi juga membuat dampak yang luar biasa pada ekonomi global (Lee, 2020) dan pendidikan (Cao, et.al, 2020). Negara-negara di dunia telah menetapkan kebijakan terkait mitigasi dan penanggulangan wabah ini dengan menutup sekolah. Sekitar 421 juta siswa dari 39 negara mendapatkan dampak dari ke Kebijakan tersebut. Indonesia pun mengikuti untuk melakukan kebijakan yang sama. Kementerian Pendidikan menginstruksikan untuk siswa belajar di rumah dan semua institusi pendidikan untuk menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh untuk menyelamatkan siswa dari penularan wabah ini yang di tuangkan dalam Surat Edaran (SE) Nomor 4 tahun 2020 yang diteken 24 Maret 2020.
Hanya beberapa minggu saja, Virus Corona 2019 telah mengubah cara siswa dalam belajar di seluruh dunia. Di China, pemerintah menyiapkan akses materi belajar siswa melalui broadcast TV secara live. Siswa di Hongkong menggunakan aplikasi interactive untuk belajar di rumah. Di Nigeria, guru menggunakan LMS seperti Google classroom untuk memberikan pembelajaran. Sebuah sekolah di Italy menggunakan Google Hangout untuk melaksanakan pembelajaran secara virtual. Di Libanon, siswa tetap melaksanakan pelajaran olahraga dengan merekam dan mengirimkannya kepada guru. Hal ini menunjukan bahwa wabah ini secara tidak langsung melahirkan inovasi-inovasi pembelajaran yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk Pendidikan di masa depan.
Pertanyaannya, apakah kita siap dan mampu untuk memindahkan kelas kita ke dunia maya?
Dengan teknology 5G negara-negara maju seperti China, Amerika, dan Jepang bisa dikatakan memiliki modalitas yang cukup untuk memfasilitasi pembelajaran digital. Akan tetapi, bagi negara berkembang seperti Indonesia tentunya memiliki tantangan yang cukup besar untuk melaksanakan pembelajaran digital. BPS menyatakan bahwa indeks pembangunan Teknologi di Indonesia masih rendah (cnnindonesia.com, 17/12/2018). Tercatat bahwa indeks penggunaan internet hanya 4,44, akses dan infrastruktur 5,16, dan keahlian 5,75 dengan skala 1-10. Bahkan di wilayah Indonesia bagian timur tergolong masih sangat rendah seperti Papua 2,41 dan NTT 2,75. Artinya, kita secara statistic masih belum siap untuk menepaki Pendidikan digital karena secara infrastruktur, akses internet, dan kecakapan mayoritas guru bisa dikatakan belum memenuhi. Saya sendiri sebagai pengajar mengakui banyak tantangan yang saya hadapi dalam memfasilitasi siswa untuk belajar. Mulai dari terbatasnya akses internet siswa untuk melaksanakan pembelajaran virtual, terbatasnya fungsi perangkat pembelajaran, hingga siswa yang masih belum terbiasa dengan teknologi digital. Sebuah sekolah dasar di Yogyakarta terpaksa melaksanakan workshop digital learning untuk guru mereka ditengah pandemi karena mayoritas guru belum pernah melaksanakan pembelajaran digital.
Kondisi ini dapat kita jadikan sebagai acuan dalam arah Pendidikan kita saat ini dan kedepannya nanti. Yang pertama, digital literacy diperlukan pendidik untuk terus mengembangkan diri bukan hanya dalam pengembangan pedagogical knowledge tetapi juga pengembangan technological knowledge. Teknologi sebaiknya dilihat sebagai sarana untuk pengembangan tersebut. Kemudian, penutupan sekolah merupakan hal yang tidak bisa dielakkan sehingga Penelitian diperlukan untuk terus melakukan evaluasi dan memastikan pembelajaran sesuai dengan arahan kebijakan pemerintah. Kedua, dalam hal kebijakan, diharapkan pemerintah dan pengambil kebijakan institusi Pendidikan di wilayah tidak hanya membuat kebijakan terkait dengan mekanisme pembelajaran digital, akan tetapi perlu memperhatikan kesiapan dari akses dan Infrastruktur untuk memfasilitasi pembelajaran digital dan keahlian dari pengajar dan siswa dalam penggunaan teknologi karena setiap wilayah memiliki kemampuan yang berbeda. Kemudian, Mindset pembelajaran kedepan juga harus di arahkan kedalam Pendidikan critical thinking dan Belajar untuk Belajar atau sering disebut dengan Learning to Learn. Dengan demikian siswa akan memiliki kemampuan untuk belajar secara mandiri dan pengajar memiliki motivasi untuk terus mengembangkan diri.
Oleh sebab itu, selain bisa dimaknai sebagai acuan dalam inovasi pembelajaran kedepannya nanti, kondisi ini juga sebaiknya dimaknai pemerintah untuk lebih memperhatikan pembangunan teknologi di seluruh wilayah Indonesia sebagai bagian dari pembangunan Pendidikan di Indonesia di masa depan.