Categories
Pikiran Dosen

Ramadhan Momentum Terbaik Untuk Bangkit Melawan Pandemi

Tahun ini, umat Islam di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa yang sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Virus Corona telah merubah segalanya. Memang berat ibadah puasa di tengah gempuran wabah. Karena semua kegiatan termasuk ibadah yang sifatnya di lakukan di ruang publik, harus dirumahkan sementara. Namun demikian, semangat untuk meraih derajat ketaqwaan di bulan penuh berkah ini tidak boleh luntur. Walaupun puasa Ramadhan tahun ini sangat berbeda, nilai-nilai yang ditanamkan dalam ibadah Ramadhan tetaplah sama. Bahkan, kita bisa menjadikan Ramadhan sebagai momentum terbaik untuk bangkit melawan wabah ini. Karena banyak nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan dalam ibadah puasa yang bisa kita bawa dalam melawan virus yang sampai hari ini belum juga ditemukan penawarnya. Baca https://update.unisayogya.ac.id/covid19/ramadhan-momentum-terbaik-untuk-bangkit-melawan-pandemi/

Oleh: Dr. M Nurdin Zuhdi, S.Th.I., M.S.I. – Dosen UNISA Yogyakarta

Tahun ini, umat Islam di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa yang sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Virus Corona telah merubah segalanya. Memang berat ibadah puasa di tengah gempuran wabah. Karena semua kegiatan termasuk ibadah yang sifatnya di lakukan di ruang publik, harus dirumahkan sementara. Namun demikian, semangat untuk meraih derajat ketaqwaan di bulan penuh berkah ini tidak boleh luntur. Walaupun puasa Ramadhan tahun ini sangat berbeda, nilai-nilai yang ditanamkan dalam ibadah Ramadhan tetaplah sama. Bahkan, kita bisa menjadikan Ramadhan sebagai momentum terbaik untuk bangkit melawan wabah ini. Karena banyak nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan dalam ibadah puasa yang bisa kita bawa dalam melawan virus yang sampai hari ini belum juga ditemukan penawarnya.

Hakikat Puasa

Kata “puasa” dalam Bahasa Arab disebut “Ash-Shiyam” atau “Ash-Shaum” yang secara bahasa berarti “al-Imsak” yang bermakna “menahan diri dari sesuatu”. Dengan demikian, secara istilah puasa bermakna menahan diri dari segala sesuatu dapat membatalkan puasa yang dilakukan sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Sehingga orang yang sedang sahur kemudian mendengar seruan “imsak”, itu artinya kita disuruh untuk menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa, seperti makan, minum dan hubungan biologis.

Namun makna menahan diri ini bukan berarti sempit di mana hanya sekedar menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa, namun hakikat menahan diri yang dimaksud bermakna luas yaitu menahan diri dari segala sesuatu yang dapat menggugurkan pahalanya puasa. Jika puasa hanya sekedar menahan diri dalam arti sempit, maka puasa kita terancam hanya akan mendapatkan lapar dan dahaga saja bagi pelakunya.     

Sebab itu, dalam kitabnya, Ihya Ulumiddin, Imam Al-Ghazali membagi tiga tingkatan orang berpuasa di bulan Ramadhan. Pertama, puasa umum (shaum al-‘umum) yaitu menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Kedua, puasa khusus (shaum al-khushush) yaitu menahan telinga, pendengaran, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa. Ketiga, puasa khusus untuk orang-orang khusus (shaum khushush al-khushush) yaitu menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah swt.

Dari tingkatan orang berpuasa yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali di atas, tingkatan pertama yaitu puasa umum (shaum al-‘umum) adalah tingkatan yang rawan dengan tipe puasa yang hanya akan medapatkan lapar dan dahaga. Karena, jika puasa kita hanya mencegah dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa, seperti makan, minum dan berhubungan biologis, anak kecil yang baru belajar berpuasa pun bisa melakukannya. Karena hakikat puasa yang sebenarnya adalah tidak hanya menahan dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa, namun juga menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan pahala puasa. Puasa inilah yang dimasukkan pada tingkatan kedua oleh Imam Al-Ghazali di atas. Jika kita belum bisa mencapai tingkatan yang ketiga karena tidak semua orang mampu, maka untuk menghindari puasa yang hanya akan medapatkan lapar dan dahaga, kita harus masuk pada tingaktan yang kedua. Tipe puasa inilah yang akan memberikan perubahan sosial berskala besar. 

Banyak hadis yang menguatkan tentang puasa yang berdampak secara sosial berskala besar ini. Diantaranya adalah “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan selalu mengamalkannya, maka Allah tidak butuh pada puasanya.” [HR. Al-Bukhari]. Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya puasa itu bukan menahan dari makan dan minum saja, puasa yang sebenarnya adalah menahan dari laghwu (ucapan sia-sia) dan rafats (ucapan kotor), maka bila seseorang mencacimu atau berbuat tindakan kebodohan kepadamu katakanlah: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’.” [HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim].

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menjelaskan: Seorang yang berpuasa adalah orang yang anggota badanya berpuasa dari perbuatan-perbuatan dosa, lisannya berpuasa dari kata dusta, kata keji, dan ucapan palsu, perutnya berpuasa dari makanan dan minuman, kemaluannya berpuasa dari bersetubuh. Bila dia berbicara, tidak berbicara dengan sesuatu yang merusak puasanya, bila berbuat, tidak berbuat dengan suatu perbuatan yang merusak puasanya, sehingga seluruh ucapannya keluar dalam keadaan baik dan manfaat”.

Nilai-Nilai Menahan Diri untuk Melawan Pandemi

Selengkapnya: https://mui-sulteng.or.id/2020/05/13/ramadhan-momentum-terbaik-untuk-bangkit-melawan-pandemi