Oleh: Gerry Katon Mahendra, M.I.P – Dosen Program Studi Administrasi Publik S1 UNISA Yogyakarta
Pemerintah akhirnya mengambil langkah yang cukup progresif terkait dengan penanganan pandemi Covid 19. Himbauan pelaksanaan social distancing dan physical distancing yang selama ini sudah dijalankan dalam upaya memutus rantai penyebaran Covid 19 akan dipertegas dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan masih akan ditambah opsi kebijakan darurat sipil jika keadaan menjadi abnormal dan tidak terkendali. Sebelum masuk dalam korelasi kebijakan tersebut terhadap situasi yang sedang dialami oleh Negara saat ini, perlu dipahami terlebih dahulu terkait apa yang dimaksud dengan darurat sipil. Dilansir dari berbagai sumber, berdasarkan ketentuan perundang-undangan, status darurat sipil tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
Status darurat sipil berada di bawah status darurat militer dan keadaan perang. Sesuai Pasal 1 ayat (1) dalam Undang-Undang tersebut, penetapan status darurat sipil/darurat militer/keadaan perang merupakan wewenang presiden. Presiden dapat menetapkan tiga status tersebut secara menyeluruh atau hanya sebagian wilayah di Indonesia dengan dibarengi beberapa persyaratan, diantaranya : Keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa; Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga; Hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.
Presiden menjadi penguasa tertinggi dalam penerapan status darurat sipil pusat dengan dibantu oleh para menteri, kepala staf TNI dan kapolri. Jika presiden menerapkan status darurat sipil diterapkan di daerah, kepala daerah setempat yang menjadi penguasa keadaan darurat sipil dengan tetap mentaati petunjuk presiden. Kepala daerah bisa dibantu komandan militer, kepala polisi, dan kepala kejaksaaan dari daerah setempat. Lebih luas lagi dijelaskan dalam Perpu PenggantiUndang-undang Nomor 23 Tahun 1959, penguasa darurat sipil memiliki beberapa wewenang untuk melakukan pembatasan kerumunan massa, diantaranya :
Pasal 13
Penguasa Darurat Sipil berhak mengadakan peraturan-peraturan untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan berupa apapun juga, lukisan-lukisan, klise-klise dan gambar-gambar.
Pasal 18
(1)
Penguasa Darurat Sipil berhak mengadakan ketentuan bahwa untuk
mengadakan rapat-rapat umum, pertemuan-pertemuan umum dan arak-arakan
harus diminta-idzin terlebih dahulu, Idzin ini oleh Penguasa Darurat
Sipil diberikan penuh atau bersyarat. Yang dimaksud dengan
rapat-rapat umum dan pertemuan-pertemuan umum adalah rapat-rapat dan
pertemuan-pertemuan umum yang dapat dikunjungi oleh rakyat umum.
(2)
Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi atau melarang memasuki atau
memakai gedung-gedung, tempat-tempat kediaman atau lapangan-lapangan
untuk beberapa waktu yang tertentu.
(3)
Ketentuan-ketentuan, dalam ayat (1) dan (2) pasal ini tidak berlaku
untuk peribadatan, pengajian, upacara-upacara agama dan adat dan
rapat-rapat Pemerintah.
Pasal 19
Penguasa
Darurat Sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah.
Pasal 21
Untuk pelaksanaan peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan Penguasa Darurat Sipil, anggota-anggota Kepolisian, badan-badan pencegah bahaya udara, dinas pemadam kebakaran dan dinas-dinas atau badan-badan keamanan lainnya ada di bawah perintah Penguasa Darurat Sipil.
Masih
Tersedia Opsi Relevan
Menurut Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie dalam bukunya, Hukum Tata Negara Darurat cetakan 2008, keadaan darurat sipil dapat terjadi karena berbagai sebab, baik yang bersifat alami, insani, dan/atau sebab-sebab yang bersifat hewani. “Sebab alami yaitu sebab yang terjadi akibat bencana alam baik yang timul dari perut bumi, dari lautan, atau dari udara. Sebab-sebab yang bersifat insani yaitu sebab-sebab yang terjadi akibat dari ulah manusia. Sementara itu, sebab-sebab yang bersifat hewani adalah bencana yang timbul karena hewan yang menyebabkan wabah penyakit yang meluas”. Dari penjelasan-penjelasan diatas mengenai darurat sipil, memang terdapat beberapa indikator cukup relevan dengan keadaan saat ini. Terutama jika dikaitkan dengan adanya wabah penyakit dan sulitnya membatasi mobilitas masyarakat umum ditengah pandemi virus Covid 19.
Namun tetap saja, opsi kebijakan darurat sipil yang akan diambil jika keadaan negara mengarah ke keadaan yang abnormal masih dianggap kontroversial, belum perlu dan tidak sepenuhnya tepat dalam mensikapi wabah Covid 19. Terlebih lagi, opsi kebijakan darurat sipil dikhawatirkan akan mengebiri hak-hak sipil yang tidak berkaitan langsung dengan substansi masalah kesehatan yang sedang dihadapi saat ini. Alih-alih menerapkan kebijakan darurat sipil, sebenarnya pemerintah masih memiliki opsi lain yang dianggap lebih substantif dan tepat sasaran. Jika dirunut kembali dari awal, pemerintah bisa untuk fokus saja pada dua Undang-Undang, yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Mengapa
kedua Undang-Undang tersebut dianggap cukup ? jawabannya tentu saja
karena kondisi yang terjadi saat ini bukanlah buah dari keadaan
darurat pertahanan dan keamanan negara, melainkan kondisi saat ini
terjadi dikarenakan bencana wabah penyakit Covid 19. Langkah pertama
dapat dilakukan dengan membuat status penetapan bencana nasional non
alam yang pada fase berikutnya dapat menjadi landasan kuat dalam
pelaksanaan social
and physical distancing seperti
yang saat ini sudah dijalankan
plus penguatan melalui PSBB.
Berkaca dari penerapan social
and physical distancing yang
hingga hari ini dianggap belum maksimal, ditandai dengan arus mudik
yang justru semakin masif dan juga kegiatan berkumpul warga yang
masih kerap dilakukan oleh sebagian masyarakat, pemerintah berhak
untuk kemudian
menerapkan PSBB dengan lebih intensif atau naik tingkat lagi menuju
karantina dengan mengacu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang
Karantina Kesehatan.
Menyoal sampai sejauh mana lingkup karantina yang akan dilakukan, dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Bab VII Pasal 49 tentang jenis karantina, sudah dijelaskan dan terbagi dalam beberapa jenis karantina yang meliputi karantina rumah, karantina wilayah, dan karantina rumah sakit. Pemerintah hanya tinggal memutuskan lingkup yang akan dipilih sesuai kondisi yang ada saat ini. Logika kebijakan tersebut yang dianggap paling relevan dan paling diharapkan oleh berbagai stakeholders dalam menghadapi situasi saat ini. Namun sayangnya, meskipun Undang-Undang Karantina Wilayah sudah ada sejak tahun 2018, faktanya hingga tulisan ini dibuat Peraturan Pemerintah (PP) sebagai landasan dalam melaksanakan Undang-Undang tersebut belum selesai dikerjakan. Hal ini tentu saja menjadi sinyal ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi penyebaran wabah Covid 19.
Selain itu, keengganan pemerintah untuk mengambil opsi tersebut dengan tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan ditengarai karena adanya kewajiban untuk menanggung kebutuhan dasar masyarakat selama masa karantina berlangsung. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), dan Pasal 58 baik dalam konteks karantina rumah, karantina wilayah, maupun karantina rumah sakit. Mengenai pemenuhan kebutuhan ini, seharusnya pemerintah lebih mau berfikir lebih strategis lagi mengingat opsi karantina menjadi opsi sistemik yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang dan diharapkan yang paling efektif. Pemerintah diharapkan mau untuk terus membaca peluang dengan melakukan realokasi anggaran, pemotongan pendapatan pejabat negara dan pejabat daerah serta ASN, alih fokus produksi BUMN dan swasta terutama yang bergerak dalam bidang pangan dan kesehatan, serta usaha lain yang dianggap mampu menambah sumber pemasukan dan sumber daya Negara guna mewujudkan solusi sistematis tersebut dan menjamin kebutuhan hidup masyarakat selama karantina.
Logikanya, jika kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi maka akan semakin mudah untuk diatur dan diarahkan serta menaati peraturan. Pada akhirnya, kita semakin dikejar oleh tenggat waktu, pandemi masih tetap mewabah dan kita semua, baik pemerintah maupun masyarakat dituntut untuk bergerak cepat dan tepat guna menangani situasi ini dengan efektif dan efisien. Kembali lagi, kebijakan pembatasan sosial skala besar dengan opsi pamungkas kebijakan darurat sipil, dirasa akan tetap menjadi pro dan kontra ditengah masyarakat, terlebih jika dilaksanakan tanpa dibarengi kewajiban pemerintah untuk memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat. kondisi tersebut nantinya justru dikhawatirkan akan memiliki dampak sosial dan ekonomi yang lebih besar bagi masyarakat, khususnya pekerja informal dan kalangan menengah kebawah. Jika dampak ini sampai terjadi secara masif, tentu saja akan berpotensi menimbulkan masalah baru yang membutuhkan waktu dalam upaya penyelesaiannya.