Categories
Kultum Ramadhan

Memaknai ‘Aidin wal Faizin

Untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, ibadah selama bulan Suci Ramadhan dilakukan di rumah, sampai dinyatakan bahwa wabah sudah berlalu oleh pihak berwenang. Nabi SAW-pun hanya beberapa hari saja jama’ah tarawih di masjid, selebihnya di rumah. https://update.unisayogya.ac.id/covid19/memaknai-aidin-wal-faizin/ dapat dibacakan oleh imam atau yang ditunjuk ketika jama’ah tarawih atau subuh di rumah. Daftar kultum: https://bit.ly/KultumRomadhon


Dalam bulan Ramadhan, lebih tepatnya di akhir bulan Ramadhan hingga awal bulan Syawal sering dijumpai kata Minal ‘Aidin wal Faizin. Entah pada media Televisi, sosial media dan spanduk-spanduk yang bertebaran.

Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan kalimat itu? Beberapa dari kita sering terjebak, seolah-olah maknanya adalah mohon maaf lahir dan bathin. Karena memang kenyataannya, kalimat Minal ‘Aidin dan Faizin sering dipadankan dengan ‘mohon maaf lahir dan bathin.’

*Makna Bahasa*

Minal ‘Aidin wal Faizin merupakan kalimat yang terdiri dari kata min yang bisa diartikan “termasuk”, ‘Aidin diartikan “orang-orang yang kembali”, Faizin “orang-orang yang menang”. Kalau diartikan secara utuh maka Minal ‘Aidin wal Faizin menjadi:

semoga kita termasuk golongan orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang. Kembali kepada kesucian diri, kembali kepada kemenangan yang hakiki dan kembali menjadi hamba Allah yang sejati

Jika dilihat dalam studi Linguistik Arab, ‘Aidin dan Faizin merupakan isim Fa’il atau pelaku. Dalam Dirasat fi Uslub Al-Qur’an (Studi Ilmu Gaya Bahasa Al-Qur’an) isim fa’il memiliki makna yang lebih mendalam dibading pada posisi fi’il madhi (Simple Past Tense) dan fi’il mudhari’(Simple Present). Untuk memudahkan memahaminya, mari diperhatikan 3 kalimat berikut.

Eqlima sedang merawat suaminya yang sedang sakit!

Eqlima pernah merawat suaminya!

Eqlima adalah seorang perawat!

Kalimat pertama merupakan suatu aktivitas yang sedang berlangsung atau disebut juga sebagai fi’il mudhari’ (simple present). Artinya jika suaminya sembuh, Eqlima tidak perlu lagi merawat suaminya dan tidak perlu melakukan aktivitas sebagai perawat.

Pada kalimat kedua, merupakan kalimat yang mengandung fi’il madhi (simple past tense) yang mana Eqlima pernah merawat suaminya ketika sakit dulu dan berperilkau seperti perawat, tapi itu dulu dan sekarang tidak.

Coba bandingkan dengan kalimat ketiga yaitu Eqlima yang berprofesi perawat, ketika suami sakit, maka dia akan merawat sebagai mana harusnya dan ketika suami sudah sembuh, Eqlima tetap melakukan aktivitas sebagai perawat karena memang profesinya sebagai perawat.

Hal itulah yang disebut sebagai fai’l yang membedakan dengan fi’il mudhari’ dan madhi. Isim Fail dalam bahasa arab disebut sebagai pelaku dan dalam konteks yang lebih dalam bisa dimaknai sebagai profesi. Mau suaminya pernah sakit atau sudah sembuh, Eqlima tetap merawat, karena memang begitulah profesinyanya. Singkat kata, selama hayat masih dikandung badan, dia akan tetap merawat siapapun yang membutuhkannya.

Jika seorang muslim dapat memaknai secara utuh dua kata ini, maka tidak hanya ‘Aidin dan Faizin pada bulan ramadhan dan awal bulan syawal. Tapi, pada seluruh hidup dan semua aspek kehidupan karena hal itu telah melekat pada dirinya.

Apakah kita bisa meneguh memegang prinsip sebagai ‘Aidin dan Faizin dalam arti yang sesungguhnya, menjadi fitrah yang melekat dan faizin yang benar-benar nyata dalam keseharian? Semoga!